Jumat, 22 Maret 2013

Batang Pohon Ceiba

Aku melangkah penuh kecemasan saat memasuki gerbang tinggi yang membuka bangunan tua yang masih tetap bertahan hingga kini. Tempat itu dibingkai pepohonan ceiba yang tumbuh subur; batangnya besar dengan rata-rata diameter lebih dari satu meter, daunnya rimbun menghijaukan pandangan, dan bunga-bunga putihnya jatuh berguguran mengubani rerumputan. Aku ngeri sekaligus rindu pada pohon yang katanya keramat bagi bangsa maya yang mengatakan kiamat pada tahun 2012 itu. Juga semua kenangan di dalam bangunan tua itu. Tapi aku takut untuk tahu yang sebenarnya. Sangat takut bila akhirnya kecewa.

Begitu banyak kenangan tersimpan rapi di sana: saat-saat pertama aku mengenalnya, saat-saat indah melalui hari bersamanya, juga saat-saat sedih harus kehilangan dirinya. Dia yang pernah kulupakan, kini menguasai hatiku lagi. Aku tak mampu menepis bayangnya walau sedetik pun. Seseorang yang sangat kusayangi dan selamanya akan tetap kusayangi, walaupun pernah tak kuacuhkan.

Aku melanjutkan perjalanan dan mulai menapakkan kakiku pada lantai keramik yang berwarna senada dengan cat bangunan tua itu. Aku tak mau menengok ke belakang. Ada taman pohon ceiba yang akan membuka luka lamaku. Udara sejuk di sini membuatku sesak karena rasa takut yang menyerbu. Aku takut bertemu kenangan masa lalu yang menyakitkan. Kenangan bersamanya yang telah mengecewakanku.

“Ve…, Ve…” tegur seseorang di belakangku terbata. Sepertinya ia sangat mengenalku. Langkah kakinya hampir mendekat. Aku tak mau menengok. Suara itu memanggil-mangilku terus tiada hentinya. Kutulikan pendengaranku dan berlari sekencang mungkin. Hingga aku menubruk punggung seorang pria yang sangat kukenal, “Randu!” kataku spontan. Seorang wanita seolah menepuk bahuku. Aku menoleh. Nisya tersenyum padaku.
***

Sesungguhnya aku tak pernah mau menapakkan kakiku lagi di sekolah ini. Namun Ujian Nasional memaksaku untuk melawan rasa takut. Dan Randu, seseorang yang memaksaku untuk datang ke sini. Membuktikan kebenaran dari janji jari kelingking yang pernah kami ucapkan dulu. Ya, janji yang kami ikrarkan satu minggu sebelum ujian di bawah pohon ceiba. Selama lima hari aku akan bersamanya melewati hari-hari yang penuh teka-teki.

“Randu, kita janji jari kelingking dong. Ujian Nasional nggak usah nyontek, ya. Tolak bocoran! Percaya diri kalau kita pasti bisa. Kita kan udah belajar,” kataku pada Randu saat istirahat.

“Baiklah. Gue mau ukir nama lo dan nama gue di batang pohon ini. Sebagai tanda bahwa masih ada dua siswa yang nggak nyontek sampai ujian selesai.” Jemari Randu mengukir namaku terlebih dahulu. Bel sudah keburu berbunyi saat ia baru mulai mengukir namanya. Kami berlari menuju kelas. Di perjalanan kami terus mengingkrarkan janji, “No bocoran! No nyontek!”.

Setelah hari itu, kami libur selama seminggu. Di hari tenang aku sangat merindukan Randu. Namun apa boleh buat, aku baru bisa menemuinya senin nanti. Sekarang waktunya belajar dan belajar.

Tiba juga senin yang kunantikan. Kulihat wajah Randu amat tegang. Ini ujian hari pertama. Teman-teman yang lain sibuk menunggu bocoran dari ketua kelas. Sudah menjadi rahasia umum bila bocoran dan menyontek adalah hal legal bagi siswa-siswi sekolah menengah. Malahan terkoordinir dengan sangat baik, mulai dari sumber sampai penyebarannya. Hampir 100% siswa-siswi di kelasku menunggu bocoran yang sudah mereka bayar secara patungan. Dan hasilnya bel pun berbunyi. Bocoran terlambat datang di hari pertama.

Semua soal mampu kukerjakan dengan baik. Setengah jam sebelum bel kulirik Randu yang duduk di bangku belakang. Randu terlihat sangat panik. Harapanku ia segera tenang dan yakin bisa mengerjakannya. Namun kegelesahan menyelimuti pikirannya. Randu seperti amnesia dengan semua yang pernah dipelajari.

“Ve, gue nggak bisa ngerjain soal. Kayaknya gue mesti pakek bocoran. Pelajaran kedua bakalan keluar bocorannya lima menit sebelum bel.” Randu memohon aku mengizinkannya. Usai ujian pelajaran pertama, hatiku kacau akibat ucapan Randu barusan. Kutarik tangannya menuju pohon ceiba. Ia menolak.

“Ve, lo sih pinter, tapi gue… Bisa-bisa gue nggak lulus kalau nggak pakek bocoran!” Randu menatap mataku tajam. “Gue sudah bayar buat jaga-jaga,” lanjutnya lagi.

Aku hanya mampu terdiam. Menahan sakit atas ucapan Randu. Ia mengkhianati janji kami. Janji yang kami ikrarkan seminggu yang lalu. Janji yang ia tulis di batang pohon ceiba. Aku berlari meninggalkan Randu yang masih terpaku. Taman pohon ceiba itu obatnya.

Randu…, yang kutahu dari nama itu adalah nama sebuah pohon tinggi besar yang memiliki bunga putih yang bila tertiup angin dengan mudahnya terlepas dari ranting-rantingnya yang elok. Pohon yang sangat indah. Pohon randu yang biasa kusebut pohon ceiba. Aku dan Randu selalu menghabiskan waktu istirahat untuk belajar bersama di bawahnya.

Bel pun berbunyi. Aku kembali ke kelas. Tak mau pedulikan Randu lagi. Kekecewaan padanya sungguh mendalam. Aku telah kehilangan Randuku yang dulu. Setahuku ia memang tidak terlalu pandai, tapi kami sudah belajar mati-matian. Dan aku yakin ia pasti bisa.

Hari kedua dan seterusnya, aku tak pernah merasakan keberadaannya. Hingga ujian hari terakhir aku sangat merindukannya. Kuperhatikan dengan serius setiap jejak pikirannya. Setiap ia membaca soal, menganalisisnya, hingga menentukan pilihan pada satu jawaban yang diniai paling benar. Tangannya membulatkan salah satu huruf dari lima huruf yang tersedia. Hingga waktu berakhir dan ujian dinyatakan selesai, aku tak menemukan Randu yang menggantungkan kelulusannya pada bocoran yang telah ia bayar.

Ya Tuhan, jadi selama ini aku salah? Bermuka masam setiap bertemu dengannya adalah kesalahan besar. Sampai hari kelulusan pun aku cuma bisa diam dan diam. Tanpa menyapa Randu. Apa dia lulus atau dia tidak lulus? Ah, aku baru bisa tahu besok pagi.
***

“Ve…” tegur seseorang di belakangku terbata. Sepertinya ia sangat mengenalku. Langkah kakinya hampir mendekat. Aku tak mau menengok. Suara itu memanggil-mangilku terus tiada hentinya. Kutulikan pendengaranku dan berlari sekencang mungkin. Hingga aku menubruk punggung seorang pria yang sangat kukenal, “Randu!” kataku spontan. Seorang wanita seolah menepuk bahuku. Aku menoleh. Nisya tersenyum padaku.

Bukan… Nisya bukan tersenyum padaku! Ia tersenyum pada Vega yang berjalan di samping Randu. Lalu aku… Randu tak peduli padaku lagi. Mungkin ia telah melupakanku dan tak mengacuhkanku, sebagai balasan karena aku juga tak pernah mengacuhkannya. Aku menyudut, berdiri di sudut dekat pintu tata usaha.
“Ve, mau legalisir ijazah juga nih…” Nisya mengantri di bagian paling belakang.

“Sya, tolong jangan panggil Vega dengan cara seperti itu! Lo cuma akan ngingetin gue sama Venus. Gue lagi berusaha ngelupain dia.”

Astaga, Randu ingin melupakanku. Menghapus semua kenangan indah yang pernah kami lalui bersama. Apa tindakanku saat ujian sudah sangat keterlaluan hingga ia berubah seperti itu? Randu, kumohon jangan lupakan aku. Aku sayang kamu. Randu, maafkan aku…

Kulihat Vega meletakkan telunjuknya ke depan bibir. Ia mencoba menenangkan mereka. Namun Nisya dan Randu terlalu egois mengikuti perasaan masing-masing.

“Selama ini, lo nggak pernah lihat gue. Yang ada di pikiran lo cuma Venus, Venus, dan Venus…” Tangis Nisya pecah, beberapa siswa yang antri di depan mereka memperhatikannya.

“Sya, gue harap lo ngerti perasaan gue. Dan gue harap lo nggak perlu ngejar cinta gue lagi. Hati gue cuma buat Venus.”

“Vega, tolong bantu urusin legalisir ijazah gue, ya!” Vega yang juga sahabat baikku menganggukkan kepala.

Nisya meraih tangan Randu, “Mau kemana?” katanya sambil sesenggukkan.
“Sya, lepasin gue.”

Randu berlari menuju pohon ceiba paling tengah di taman sekolah. Meninggalkan Nisya yang berteriak memanggil namanya dan Vega yang menenangkan Nisya dengan sabar. Dan tentu saja aku mengikutinya dari belakang.

Randu memandangi pohon itu penuh penyesalan. Entahlah, padahal ia tak melakukan kesalahan apapun. Malahan aku bangga padanya. Tapi mengapa ia semenyesal itu? Aku tahu dari matanya yang teduh. Dia kecewa pada dirinya sendiri.

Randu melanjutkan ukiran namanya yang belum sempat diselesaikan. Ya, aku ingat waktu itu bel keburu berbunyi dan baru namaku yang terukir pada batang pohon ceiba.

“Ve, maafin gue selama ini,” lirihnya sambil mengusap-usap ukiran namanya yang telah ia selesaikan.

“Ve, gue sayang sama lo. Setiap gue mau pakek bocoran, gue selalu inget lo dan janji kita di sini. Gue nggak pakek bocoran itu sama sekali. Tolong maafin gue Ve. Jangan marah sama gue,” lanjutnya.

Kudekati dia dan kubisikkan tiga kata, “Aku bangga padamu!” Randu tak merespon. Mungkin suaraku terlalu pelan. Kucoba sekali lagi, “Randu, gue bangga sama lo. Maafkan gue selama ini sudah salah sangka. Gue juga sayang sama lo.” Tetap saja tak ada respon darinya. Aku mulai gelisah. Randu, aku berada di sini, begitu dekat denganmu. Kenapa kamu nggak mendengar suaraku? Kataku dalam hati.

Kucoba menyentuh pundak dan menggenggam tangannya. Ya Tuhan, aku tak merasakannya. Kulitku tak mampu meraba apapun. Kuselidiki setiap bagian tubuhku. Ya Tuhanku…

Pohon ceiba di hadapanku hanya bisa terdiam. Bunga putihnya masih berjatuhan di rerumputan. Batangnya masih berdiri kokoh. Samar kulihat ada ukiran namaku dan namanya di batangnya. Aku tak mampu menahan perih yang mendalam. Ketika kusadari bila aku telah tiada. Hancur bersama lambaian dedaunan hijau dan bunga putih yang berguguran tertiup angin.

“Ve, semoga tenang di alam sana…,” kalimat terakhir yang kudengar darinya ikut terbang terbawa angin.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar