Aku
melangkah penuh kecemasan saat memasuki gerbang tinggi yang membuka
bangunan tua yang masih tetap bertahan hingga kini. Tempat itu dibingkai
pepohonan ceiba yang tumbuh subur; batangnya besar dengan rata-rata
diameter lebih dari satu meter, daunnya rimbun menghijaukan pandangan,
dan bunga-bunga putihnya jatuh berguguran mengubani rerumputan. Aku
ngeri sekaligus rindu pada pohon yang katanya keramat bagi bangsa maya
yang mengatakan kiamat pada tahun 2012 itu. Juga semua kenangan di dalam
bangunan tua itu. Tapi aku takut untuk tahu yang sebenarnya. Sangat
takut bila akhirnya kecewa.
Begitu banyak kenangan
tersimpan rapi di sana: saat-saat pertama aku mengenalnya, saat-saat
indah melalui hari bersamanya, juga saat-saat sedih harus kehilangan
dirinya. Dia yang pernah kulupakan, kini menguasai hatiku lagi. Aku tak
mampu menepis bayangnya walau sedetik pun. Seseorang yang sangat
kusayangi dan selamanya akan tetap kusayangi, walaupun pernah tak
kuacuhkan.
Aku melanjutkan perjalanan dan mulai
menapakkan kakiku pada lantai keramik yang berwarna senada dengan cat
bangunan tua itu. Aku tak mau menengok ke belakang. Ada taman pohon
ceiba yang akan membuka luka lamaku. Udara sejuk di sini membuatku sesak
karena rasa takut yang menyerbu. Aku takut bertemu kenangan masa lalu
yang menyakitkan. Kenangan bersamanya yang telah mengecewakanku.
“Ve…,
Ve…” tegur seseorang di belakangku terbata. Sepertinya ia sangat
mengenalku. Langkah kakinya hampir mendekat. Aku tak mau menengok. Suara
itu memanggil-mangilku terus tiada hentinya. Kutulikan pendengaranku
dan berlari sekencang mungkin. Hingga aku menubruk punggung seorang pria
yang sangat kukenal, “Randu!” kataku spontan. Seorang wanita seolah
menepuk bahuku. Aku menoleh. Nisya tersenyum padaku.
***
Sesungguhnya
aku tak pernah mau menapakkan kakiku lagi di sekolah ini. Namun Ujian
Nasional memaksaku untuk melawan rasa takut. Dan Randu, seseorang yang
memaksaku untuk datang ke sini. Membuktikan kebenaran dari janji jari
kelingking yang pernah kami ucapkan dulu. Ya, janji yang kami ikrarkan
satu minggu sebelum ujian di bawah pohon ceiba. Selama lima hari aku
akan bersamanya melewati hari-hari yang penuh teka-teki.
“Randu,
kita janji jari kelingking dong. Ujian Nasional nggak usah nyontek, ya.
Tolak bocoran! Percaya diri kalau kita pasti bisa. Kita kan udah
belajar,” kataku pada Randu saat istirahat.
“Baiklah.
Gue mau ukir nama lo dan nama gue di batang pohon ini. Sebagai tanda
bahwa masih ada dua siswa yang nggak nyontek sampai ujian selesai.”
Jemari Randu mengukir namaku terlebih dahulu. Bel sudah keburu berbunyi
saat ia baru mulai mengukir namanya. Kami berlari menuju kelas. Di
perjalanan kami terus mengingkrarkan janji, “No bocoran! No nyontek!”.
Setelah
hari itu, kami libur selama seminggu. Di hari tenang aku sangat
merindukan Randu. Namun apa boleh buat, aku baru bisa menemuinya senin
nanti. Sekarang waktunya belajar dan belajar.
Tiba juga
senin yang kunantikan. Kulihat wajah Randu amat tegang. Ini ujian hari
pertama. Teman-teman yang lain sibuk menunggu bocoran dari ketua kelas.
Sudah menjadi rahasia umum bila bocoran dan menyontek adalah hal legal
bagi siswa-siswi sekolah menengah. Malahan terkoordinir dengan sangat
baik, mulai dari sumber sampai penyebarannya. Hampir 100% siswa-siswi di
kelasku menunggu bocoran yang sudah mereka bayar secara patungan. Dan
hasilnya bel pun berbunyi. Bocoran terlambat datang di hari pertama.
Semua
soal mampu kukerjakan dengan baik. Setengah jam sebelum bel kulirik
Randu yang duduk di bangku belakang. Randu terlihat sangat panik.
Harapanku ia segera tenang dan yakin bisa mengerjakannya. Namun
kegelesahan menyelimuti pikirannya. Randu seperti amnesia dengan semua
yang pernah dipelajari.
“Ve, gue nggak bisa ngerjain
soal. Kayaknya gue mesti pakek bocoran. Pelajaran kedua bakalan keluar
bocorannya lima menit sebelum bel.” Randu memohon aku mengizinkannya.
Usai ujian pelajaran pertama, hatiku kacau akibat ucapan Randu barusan.
Kutarik tangannya menuju pohon ceiba. Ia menolak.
“Ve,
lo sih pinter, tapi gue… Bisa-bisa gue nggak lulus kalau nggak pakek
bocoran!” Randu menatap mataku tajam. “Gue sudah bayar buat jaga-jaga,”
lanjutnya lagi.
Aku hanya mampu terdiam. Menahan sakit
atas ucapan Randu. Ia mengkhianati janji kami. Janji yang kami ikrarkan
seminggu yang lalu. Janji yang ia tulis di batang pohon ceiba. Aku
berlari meninggalkan Randu yang masih terpaku. Taman pohon ceiba itu
obatnya.
Randu…, yang kutahu dari nama itu adalah nama
sebuah pohon tinggi besar yang memiliki bunga putih yang bila tertiup
angin dengan mudahnya terlepas dari ranting-rantingnya yang elok. Pohon
yang sangat indah. Pohon randu yang biasa kusebut pohon ceiba. Aku dan
Randu selalu menghabiskan waktu istirahat untuk belajar bersama di
bawahnya.
Bel pun berbunyi. Aku kembali ke kelas. Tak
mau pedulikan Randu lagi. Kekecewaan padanya sungguh mendalam. Aku telah
kehilangan Randuku yang dulu. Setahuku ia memang tidak terlalu pandai,
tapi kami sudah belajar mati-matian. Dan aku yakin ia pasti bisa.
Hari
kedua dan seterusnya, aku tak pernah merasakan keberadaannya. Hingga
ujian hari terakhir aku sangat merindukannya. Kuperhatikan dengan serius
setiap jejak pikirannya. Setiap ia membaca soal, menganalisisnya,
hingga menentukan pilihan pada satu jawaban yang diniai paling benar.
Tangannya membulatkan salah satu huruf dari lima huruf yang tersedia.
Hingga waktu berakhir dan ujian dinyatakan selesai, aku tak menemukan
Randu yang menggantungkan kelulusannya pada bocoran yang telah ia bayar.
Ya
Tuhan, jadi selama ini aku salah? Bermuka masam setiap bertemu
dengannya adalah kesalahan besar. Sampai hari kelulusan pun aku cuma
bisa diam dan diam. Tanpa menyapa Randu. Apa dia lulus atau dia tidak
lulus? Ah, aku baru bisa tahu besok pagi.
***
“Ve…”
tegur seseorang di belakangku terbata. Sepertinya ia sangat mengenalku.
Langkah kakinya hampir mendekat. Aku tak mau menengok. Suara itu
memanggil-mangilku terus tiada hentinya. Kutulikan pendengaranku dan
berlari sekencang mungkin. Hingga aku menubruk punggung seorang pria
yang sangat kukenal, “Randu!” kataku spontan. Seorang wanita seolah
menepuk bahuku. Aku menoleh. Nisya tersenyum padaku.
Bukan…
Nisya bukan tersenyum padaku! Ia tersenyum pada Vega yang berjalan di
samping Randu. Lalu aku… Randu tak peduli padaku lagi. Mungkin ia telah
melupakanku dan tak mengacuhkanku, sebagai balasan karena aku juga tak
pernah mengacuhkannya. Aku menyudut, berdiri di sudut dekat pintu tata
usaha.
“Ve, mau legalisir ijazah juga nih…” Nisya mengantri di bagian paling belakang.
“Sya,
tolong jangan panggil Vega dengan cara seperti itu! Lo cuma akan
ngingetin gue sama Venus. Gue lagi berusaha ngelupain dia.”
Astaga,
Randu ingin melupakanku. Menghapus semua kenangan indah yang pernah
kami lalui bersama. Apa tindakanku saat ujian sudah sangat keterlaluan
hingga ia berubah seperti itu? Randu, kumohon jangan lupakan aku. Aku
sayang kamu. Randu, maafkan aku…
Kulihat Vega
meletakkan telunjuknya ke depan bibir. Ia mencoba menenangkan mereka.
Namun Nisya dan Randu terlalu egois mengikuti perasaan masing-masing.
“Selama
ini, lo nggak pernah lihat gue. Yang ada di pikiran lo cuma Venus,
Venus, dan Venus…” Tangis Nisya pecah, beberapa siswa yang antri di
depan mereka memperhatikannya.
“Sya, gue harap lo ngerti perasaan gue. Dan gue harap lo nggak perlu ngejar cinta gue lagi. Hati gue cuma buat Venus.”
“Vega, tolong bantu urusin legalisir ijazah gue, ya!” Vega yang juga sahabat baikku menganggukkan kepala.
Nisya meraih tangan Randu, “Mau kemana?” katanya sambil sesenggukkan.
“Sya, lepasin gue.”
Randu
berlari menuju pohon ceiba paling tengah di taman sekolah. Meninggalkan
Nisya yang berteriak memanggil namanya dan Vega yang menenangkan Nisya
dengan sabar. Dan tentu saja aku mengikutinya dari belakang.
Randu
memandangi pohon itu penuh penyesalan. Entahlah, padahal ia tak
melakukan kesalahan apapun. Malahan aku bangga padanya. Tapi mengapa ia
semenyesal itu? Aku tahu dari matanya yang teduh. Dia kecewa pada
dirinya sendiri.
Randu melanjutkan ukiran namanya yang
belum sempat diselesaikan. Ya, aku ingat waktu itu bel keburu berbunyi
dan baru namaku yang terukir pada batang pohon ceiba.
“Ve, maafin gue selama ini,” lirihnya sambil mengusap-usap ukiran namanya yang telah ia selesaikan.
“Ve,
gue sayang sama lo. Setiap gue mau pakek bocoran, gue selalu inget lo
dan janji kita di sini. Gue nggak pakek bocoran itu sama sekali. Tolong
maafin gue Ve. Jangan marah sama gue,” lanjutnya.
Kudekati
dia dan kubisikkan tiga kata, “Aku bangga padamu!” Randu tak merespon.
Mungkin suaraku terlalu pelan. Kucoba sekali lagi, “Randu, gue bangga
sama lo. Maafkan gue selama ini sudah salah sangka. Gue juga sayang sama
lo.” Tetap saja tak ada respon darinya. Aku mulai gelisah. Randu, aku
berada di sini, begitu dekat denganmu. Kenapa kamu nggak mendengar
suaraku? Kataku dalam hati.
Kucoba menyentuh pundak dan
menggenggam tangannya. Ya Tuhan, aku tak merasakannya. Kulitku tak
mampu meraba apapun. Kuselidiki setiap bagian tubuhku. Ya Tuhanku…
Pohon
ceiba di hadapanku hanya bisa terdiam. Bunga putihnya masih berjatuhan
di rerumputan. Batangnya masih berdiri kokoh. Samar kulihat ada ukiran
namaku dan namanya di batangnya. Aku tak mampu menahan perih yang
mendalam. Ketika kusadari bila aku telah tiada. Hancur bersama lambaian
dedaunan hijau dan bunga putih yang berguguran tertiup angin.
“Ve, semoga tenang di alam sana…,” kalimat terakhir yang kudengar darinya ikut terbang terbawa angin.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar